Invasi Mendarah Daging atas Ketubuhan Perempuan

Indonesia merupakan negara dengan penduduk Islam terbesar kedua berdasarkan data dari World Population Review. Total sebanyak 236 juta penduduk di Indonesia yang memeluk agama Islam. Dengan banyaknya populasi tersebut, tak heran Indonesia memiliki ragam budaya yang terkait dengan sejarah keislaman. Sebagai warga yang berbudaya, tradisi sangat dijaga dan dilestarikan dari generasi ke generasi. Meskipun beberapa tradisi tersebut telah dilupakan seiring perkembangan zaman, namun ada beberapa tradisi yang masih dipegang teguh dan dipraktekkan sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya salah satunya adalah sunat perempuan.

Pada beberapa daerah di Indonesia masih melanggengkan tradisi Female Genital Mutilations (FGM) atau sunat perempuan. FGM sendiri sejatinya merupakan produk dari konstruksi budaya dan agama. FGM telah diakui secara internasional sebagai pelanggaran hak asasi manusia karena dilakukan terhadap bayi perempuan atau perempuan dibawah 15 tahun yang belum bisa memberikan pendapat mengenai bagaimana tubuhnya ingin diperlakukan dan memberikan persetujuan terhadap suatu praktik yang memberikan dampak terhadap tubuhnya meskipun dilakukan secara medis (medikalisasi sunat perempuan). 

Pada masyarakat yang melanggengkan praktik ini biasanya dilatarbelakangi oleh tekanan sosial dan ketakutan kehilangan status sosial bagi anak perempuan yang tidak disunat dan keluarganya dan mengatasnamakan mengikuti tradisi keislaman dan sangat disayangkan sebagian pelaku atau aktor di balik FGM ini adalah sesama wanita (Lubis, 2006). Perempuan yang memiliki budaya FGM dalam lingkungannya melakukan praktik FGM untuk menunjukkan rasa hormat kepada keluarga mereka, menunjukkan keberanian, dan menandai peralihan dari anak perempuan menjadi seorang wanita.

Dalam sejarahnya, sunat perempuan mulai dilarang oleh dunia internasional sejak dikeluarkannya General Recomendation No. 14: Female Circumision pada tahun 1990 di mana berisikan rekomendasi kepada negara untuk memberantas FGM, dan Konvensi Hak Anak yang memberikan perlindungan terhadap anak yang mengalami FGM dengan memberi rekomendasi kepada negara untuk menghapuskan kebiasaan-kebiasaan tradisional yang merugikan kesehatan anak (Union, 2025).

Sedangkan di Indonesia sendiri peraturan yang melarang praktik ini berubah-ubah sejak kali pertama dikeluarkan peraturan dalam Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK 00.07.1.31047a mengenai Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan dikarenakan tidak bermanfaat bagi Kesehatan karena praktik ini termasuk kedalam praktik yang berbahaya dan menyakitkan bagi perempuan. Saat ini belum terdapat peraturan yang tegak melarang adanya FGM di Indonesia (Syarip, dkk, 2023).

Berikut ini beberapa alasan mengapa FGM termasuk dalam jenis kekerasan pada perempuan:

  1. Prosedur yang dilakukan sangat menyakitkan.
  2. Pembengkakan jaringan di sekitar vagina dapat menyebabkan terblokirnya proses pembuangan cairan.
  3. Penyakit menular karena non steril urine.
  4. Mengalami luka karena urine yang terinfeksi.
  5. Shock.
  6. Pendarahan parah, dan lain-lain.

Disamping itu, pada sejarahnya praktik ini dapat memiliki dampak jangka panjang terhadap kesehatan reproduksi perempuan seperti infeksi saluran kemih, gangguan menstruasi, infertilitas, rusaknya ginjal dan lain-lain (Union, 2025).

Dalam Islam pelaksanaan FGM dipraktikkan sebagai makrumah atau bentuk penghormatan bagi perempuan. Terdapat beragam argumen terkait kebijakan ini dalam kalangan Ulama. Sebagian memandang bahwa FGM hanya wajib dengan ketentuan  jika kondisi perempuan yang ujung klitorisnya berlebih. 

Berbeda dengan sunat pada laki-laki, dimana dasar hukum pelaksanaannya telah mencapai kesepakatan dari para ulama juga medis terhadap manfaat yang didapat ketika disunat, yaitu untuk menambah kenikmatan seksual ketika sedang berhubungan dan terhindar dari penyakit, maka seharusnya dasar yang sama pun harus digunakan dalam melihat sunat perempuan.

Negara telah dianggap lalai (act of omission) karena tidak memasukkan norma-norma ke dalam hukum nasional meski hal tersebut sudah diakui dalam hak asasi manusia secara internasional. Oleh sebab itu dalam hal ini, dunia internasional yang bergerak secara makro membutuhkan sosok pekerja sosial dan komunitas untuk membantu menangani korban kekerasan berbasis gender ini dan diharapkan dengan adanya tindak lanjut ini dapat memutus tradisi yang hanya menyakiti anak-anak dan perempuan.

Berdasarkan 10 peran pekerja sosial menurut Menurut Huda dan Suharto dalam (Kurniawan, Nurwati, and Krisnani 2019), pekerja sosial dalam membantu penanganan korban FGM secara langsung dapat berkontribusi pada beberapa hal berikut:

  1. Pekerja sosial dapat menghubungkan korban FGM dengan fasilitas hukum atau kesehatan. Dengan penjangkauan dan pendampingan yang tepat dapat membantu memenuhi kebutuhan korban FGM.
  2. Pekerja sosial dapat memberikan pengetahuan baru kepada masyarakat mengenai risiko dan dampak buruk dari praktik FGM. Sehingga, ketika pekerja sosial telah berhasil menyampaikannya dan masyarakat mampu menerima pengetahuan tersebut, maka dapat menimbulkan perubahan lebih baik untuk para perempuan dengan berkurangnya praktik FGM atau bahkan kekerasan berbasis gender yang membudaya dalam masyarakat.
  3. Dalam ranah makro dapat terlibat pada pembentukan kebijakan. Lebih jauh lagi, pekerja sosial dan komunitas dapat hadir dan turut berpartisipasi dalam perumusan kebijakan terkait anak dan perempuan.

Lindungi anak-dan perempuan disekitar kita karena sejatinya anak-anak berhak merasakan kebahagiaan dengan bermain dan pemberian kasih sayang tanpa syarat oleh orang-orang disekitarnya. Jangan takut untuk menghubungi tenaga profesional jika mengalami kekerasan berbasis gender atau pelanggaran HAM. Laporkan jika kamu melihat orang disekitarmu mengalaminya.

Kontak:
Hotline PKBI Daerah Jawa Timur
Nomor telepon: +62 823-2360-2830
Email : pkbijatim@pkbi.or.id
Alamat : PKBI Daerah Jawa Timur, Jl. Indragiri No. 24, Surabaya

Referensi:

Kurniawan, Rifdah Arifah, Nunung Nurwati, and Hetty Krisnani. 2019. “Peran Pekerja Sosial Dalam Menangani Anak Korban Kekerasan Seksual.” Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
Lubis, D. B. (2006). Female Genital Mutilation : Penghilangan Hak Wanita Atas Tubuhnya dalam Sulistyowati Irianto, Perempuan & Hukum : Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Syarip, Al-Azmi Nur Fadhilah, Muhammad Husni Syam, Syahrul Fauzul Kabir. (2023). Perlindungan HAM Terhadap Anak Perempuan yang Mengalami Female Genital Mutilations. Jurnal Riset Ilmu Hukum. Unisba Press. Vol. 3, No. 1. Doi: https://journals.unisba.ac.id/index.php/JRIH/article/view/2129
Union, I.-P. Diakses pada 05 Februari 2025. What is Female Genital Mutilation. http://www.ipu.org/wmn-e/fgm-what.htm,
World Population Review. Diakses pada 06 Februari 2025. World Population by Religion 2024. https://worldpopulationreview.com/country-rankings/religion-by-country

    Write a comment