Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai kesehatan mental, semakin maraknya konten kesehatan mental di media sosial. Namun, terdapat fenomena yang mengkhawatirkan, terutama bagi mereka yang kurang berpengetahuan dan langsung mempercayai informasi tanpa menyaringnya. Banyak orang kini melakukan self-diagnosis. Dikutip dari artikel Kemenkes, self-diagnosis yaitu proses mendiagnosis diri sendiri berdasarkan pengetahuan pribadi atau informasi dari sumber yang kurang terpercaya tanpa melibatkan profesional medis.
Hal ini didukung oleh temuan yang dilakukan oleh komala, et al (2023) menunjukkan bahwa sekitar 58,1% remaja termasuk dalam kategori berpotensi tinggi untuk melakukan self-diagnosis. Penelitian lain yang dilakukan oleh Annury, et al (2021) mengungkapkan bahwa prevalensi self-diagnosis di kalangan mahasiswa mencapai 35%, dengan sebagian besar kasus disebabkan oleh akses informasi yang belum diverifikasi dari internet dan media sosial.
Apa Yang Menyebabkan Self-Diagnosis?
Menurut Saridewi & Rokhayani (2020), beberapa faktor yang menyebabkan self-diagnosis antara lain dipengaruhi oleh keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan yang memadai, kurangnya pemahaman tentang gejala penyakit, serta kekhawatiran terhadap biaya perawatan yang tinggi. Self-diagnosis juga diperparah oleh rasa takut ketinggalan informasi atau biasa disebut FOMO (Fear of Missing Out) dan meningkatnya romantisasi gangguan mental di media sosial.
Apa Dampaknya?
Menurut Azizatul pada artikel The Jakarta Post, self-diagnosis dapat menyebabkan individu memberi label pada diri mereka sendiri yang sering kali disertai dengan pikiran dan perasaan negatif tentang diri mereka. Hal ini dapat memperburuk masalah psikologis yang dialami dan menyebabkan ketidakstabilan diri lebih lanjut. Newman (2023) mengemukakan self-diagnosis juga dapat menyebabkan bias kognitif yang mempengaruhi penilaian dan keputusan mereka dan cenderung mengalami confirmation bias serta kepercayaan berlebih, yang dapat menyebabkan kesalahan dalam penilaian dan pengambilan keputusan medis yang tidak akurat. Menurut Muse, et al (2012), Self diagnosis juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kecemasan terutama di kalangan mereka yang rutin mencari informasi kesehatan secara online sehingga sering kali dikaitkan dengan meningkatnya kekhawatiran mengenai kondisi kesehatan.
Cara Menghindari Self-Diagnosis
Menurut artikel yang ditayangkan IDNTimes, untuk menghindari risiko self-diagnosis, ada beberapa langkah yang bisa diambil:
1. Hindari mencari tahu hanya bermodalkan internet
Pilih informasi dari sumber yang kredibel seperti ahli kesehatan atau lembaga resmi. Pastikan narasumber memiliki kualifikasi yang memadai, dan cari konten yang merujuk pada penelitian ilmiah atau lembaga terpercaya. Hindari informasi dengan klaim berlebihan atau yang menyederhanakan masalah kesehatan mental.
2. Jangan jadikan selebritas/tokoh fiktif penderita gangguan mental tertentu sebagai rujukan
Tidak tepat untuk melabeli diri sendiri dengan gangguan mental tertentu jika melihat selebritas atau konten kreator pada media sosial tentang pengalamannya yang mengidap kondisi mental tertentu. Jika ada kemiripan kondisi mental lebih belum tentu kita mengalami gangguan mental yang sama pula karena kondisi mental setiap orang tidak dapat disamakan hanya berdasarkan informasi yang terlihat di media sosial.
3. Lebih baik untuk tidak mengikuti tes-tes online terkait kesehatan mental
Tes online tentang kesehatan mental bisa menjadi hiburan, tetapi tidak boleh dijadikan rujukan untuk diagnosis. Diagnosis yang akurat harus dilakukan oleh profesional medis seperti psikolog atau psikiater, bukan hanya berdasarkan gejala umum yang terdaftar dalam tes online.
4. Apabila merasa punya gangguan mental tertentu, segera periksakan diri!
Jika kamu merasa mempunyai gangguan mental dan kamu sedang tidak baik-baik saja, langkah tepat yang dapat kamu ambil adalah memeriksakan diri untuk mencari pertolongan kepada profesional seperti psikolog atau psikiater. Jangan anggap sepele masalah kesehatan mental karena dapat mempengaruhi perilaku diri dalam kehidupan sehari-hari.
Apabila kamu merasa mengalami gangguan mental segera periksakan diri ke professional agar mendapat penanganan yang tepat. Jangan membahayakan diri sendiri dengan self-diagnosis yang dapat berdampak kepada diri sendiri dan orang sekeliling yang kamu sayangi.
Klinik Utama PKBI Jawa Timur menyediakan layanan Mental Health Check Up yakni proses evaluasi kesehatan mental seseorang untuk mengidentifikasi masalah atau kondisi yang mungkin mempengaruhi kesejahteraan psikologis.Dengan mengakses layanan tersebut, Kamu juga akan mendapatkan konseling secara cuma-cuma dengan psikolog selama 40 menit loh. Jadwalkan sesimu melalui Whatsapp Hotline PKBI Jawa Timur 0823-2360-2830. Saatnya menyayangi diri sendiri!
#PKBIJATIM #selfdiagnose #mentalhealthcheckup #kesehatanmental #konseling #depresi #stres #kecemasan #rasabersalah #penerimaan
Kontributor Penulis:
Meutia Citra Islamiati (Mahasiswa Psikologi UBAYA)
Kontak:
Hotline PKBI Daerah Jawa Timur
Nomor telepon: +62 823-2360-2830
Email : pkbijatim@pkbi.or.id
Alamat : PKBI Daerah Jawa Timur, Jl. Indragiri No. 24, Surabaya
Referensi
Ar Farhan. (2021). 5 cara menghindari self-diagnosis terkait kesehatan mental. IDN Times. Diakses dari https://www.idntimes.com/health/fitness/ar-farhan/5-cara-menghindari-self-diagnosis-terkait-kesehatan-mental-c1c2?page=all
Kembaren, L. (2022). Bahaya melakukan self-diagnosis gangguan jiwa. Yankes Kemenkes. Diakses dari https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1436/bahaya-melakukan-self-diagnosis-gangguan-jiwa
Putri, B., & Pratiwi, P. (2024). Gambaran Bias Kognitif Pada Adolescence Yang Melakukan Self Diagnose Terhadap Penyakit Mental. Seroja Husada (Jurnal Kesehatan Masyarakat), 1(3), 205–212. https://doi.org/10.572349/husada.v1i1.363Staf JP. (2022). Don’t do it yourself: The risks of self-diagnosing mental health issues. The Jakarta Post. Diakses dari https://www.thejakartapost.com/culture/2022/06/20/dont-do-it-yourself-the-risks-of-self-diagnosing-mental-health-issues.html