Hak atas perlindungan warga negara saat terjadi bencana dijamin oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Adapun perlindungan yang diberikan kemudian tidak sebatas penyediaan suaka atau pengungsian, namun termasuk penyediaan layanan kesehatan reproduksi yang juga melindungi perempuan dan remaja dari kekerasan berbasis gender yang rentan terjadi pascabencana. Workshop on Cluster System & Coordination Mechanism (5/10) digelar oleh PKBI Jawa Timur dengan menggandeng United Nations Population Fund (UNFPA) atau Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Direktorat Kesehatan Keluarga Kemenkes RI untuk membahas lebih lanjut mengenai penanganan perempuan dan remaja saat bencana, sekaligus mekanisme koordinasi antarlembaga yang bertugas saat proses penanggulangan bencana.
Penanganan bencana dan koordinasi antarlembaga menjadi pembahasan krusial, namun lebih dari itu, pemulihan dan pembangunan kembali juga menjadi pembahasan yang penting. Elisabeth Sidabutar, pembicara pertama dari UNFPA menjelaskan bahwa penting untuk memperkuat mekanisme yang sudah ada dengan tujuan menciptakan sistem yang berkelanjutan alih-alih berusaha menciptakan mekanisme baru tiap terjadi bencana. Hal ini kemudian dapat dimungkinkan saat pemantauan respon kebencanaan dilakukan dengan baik. “Koordinasi adalah kunci. Pemerintah maupun lembaga-lembaga lain juga sama-sama tidak bisa kerja sendiri,” ujar Elisabeth. Ia kemudian menjelaskan pentingnya perluasan kemitraan dengan stakeholder lokal (akademisi maupun sektor swasta) guna memperbaiki dan menyesuaikan respon bencana dengan daerah setempat. Banyak sektor yang harus dikelola dengan baik saat penanggulangan bencana, itulah mengapa diperlukan banyak lembaga dari sektor yang berbeda-beda. Sistem klaster kemudian penting untuk dikelola agar tiap-tiap lembaga dapat bekerja efektif sesuai dengan koridor masing-masing. Sistem klaster turut diatur dalam Permenkes Nomor 75 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan.
PKBI sebagai salah satu lembaga yang turut andil dalam program penanganan bencana termasuk ke dalam klaster kesehatan serta pengungsian dan perlindungan. PKBI kemudian bertugas untuk menyediakan proteksi terhadap wanita, ibu hamil dan remaja atas kekerasan berbasis gender. Adapun fasilitas yang dibutuhkan kemudian tak hanya pengungsian, namun edukasi mengenai kesehatan reproduksi untuk mencegah kehamilan yang tak diinginkan, melindungi ibu hamil, serta kekerasan berbasis gender lainnya. Penyediaan perlengkapan kesehatan reproduksi seperti pembalut, kondom, hygiene kit, obat-obatan untuk ibu hamil dan lainnya turut menjadi perhatian. Penyediaan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) serta dukungan psikososial juga harus menjadi fokus. Layanan ini kemudian disediakan dan disesuaikan dengan bahasa daerah masing-masing. Informasi mengenai nomor kontak layanan juga penting agar masyarakat tahu harus ke mana untuk mencari bantuan atau kebutuhan tertentu, mengingat pandemi Covid-19 masih terjadi, maka akan lebih baik jika layanan yang disediakan menghindari kontak langsung.
Layanan kesehatan reproduksi yang disediakan oleh PKBI dan lembaga terkait lainnya kemudian diharapkan tak hanya berfokus ke wanita maupun laki-laki usia reproduksi, namun juga menyediakan inklusifitas atas pelayanan minimum terhadap lansia dan balita. Pelayanan yang disediakan harus terintegrasi dengan puskesmas terdekat, pendataan juga harus dilakukan secara cermat dan efektif, sehingga masyarakat tidak merasa didata berulang kali. Pelibatan masyarakat korban bencana juga diperlukan untuk menyesuaikan umpan balik yang diberikan dan memastikan bahwa penyediaan layanan sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Penguatan kapasitas tim siaga kesehatan reproduksi kemudian perlu dilakukan di level provinsi dan tiap daerah. Layanan Kespro darurat harus sudah aktif sejak 1×24 jam bencana terjadi untuk segera menangani bila ada ibu hamil, perempuan menstruasi, maupun hal lain yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi korban bencana.