Mendengar Suara Anak, Ketika Screening GBV Mengungkap Luka yang Tak Terucap

Banyak anak mengalami kekerasan dalam diam. Mereka tidak tahu harus berbicara kepada siapa, atau bahkan tidak menyadari bahwa yang mereka alami adalah bentuk kekerasan. Kekerasan terhadap anak, terutama berbasis gender atau Gender-Based Violence (GBV), menjadi permasalahan yang sering kali tersembunyi karena anak-anak takut atau tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan apa yang mereka alami.

Melalui kegiatan edukasi kepemimpinan yang diselenggarakan di salah satu desa bertempat di Sidoarjo, oleh tim MBKM UINSA di PKBI Jatim pada hari minggu tanggal 16 maret 2025, dilakukan screening GBV yang berhasil mengungkap bahwa sebanyak 81 % anak pernah mengalami kekerasan. Temuan ini menjadi alarm darurat bahwa kekerasan masih terjadi, bahkan di lingkungan yang terlihat aman.

Fakta di Balik Screening GBV

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan screening GBV sebagai prosedur standar untuk mengidentifikasi korban kekerasan berbasis gender dan memberikan dukungan serta rujukan yang sesuai. screening GBV adalah metode untuk mengidentifikasi anak-anak yang berpotensi mengalami kekerasan. Dalam kegiatan ini, peserta diberikan beberapa pertanyaan sederhana yang bertujuan untuk memahami apakah mereka mengalami tindakan kekerasan baik secara fisik, verbal, emosional, maupun seksual.

Dari hasil screening GBV yang dilakukan terhadap 91 anak Peserta Pondok Ramadhan di Sidoarjo, ditemukan bahwa sebanyak 73 anak atau sekitar 81% pernah mengalami kekerasan. Kekerasan tersebut berasal dari berbagai pihak, baik dari orang tua maupun teman sebaya mereka. Sementara itu, sebanyak 19 anak lainnya, atau sekitar 19%, tidak memiliki pengalaman kekerasan, baik dari lingkungan keluarga maupun sosial mereka.

Dari jumlah tersebut, terdapat dua anak yang hasil tesnya menunjukkan indikasi mengalami kekerasan yang cukup memprihatinkan. Hal ini dibuktikan dengan jawaban tertulis mereka pada salah satu pertanyaan dalam tes yang berbunyi: “Apa kata yang paling tidak menyenangkan yang pernah kamu dengar dari orang tuamu?”, Salah satu anak menuliskan:

“Bodoh, kok bisa kamu hidup?”

sementara anak lainnya menuliskan bahwa ia sering mendengar orang tuanya berkata:

“Kamu itu tidak dianggap!”

Jawaban-jawaban tersebut mencerminkan pengalaman kekerasan verbal yang dialami oleh anak-anak ini dan menunjukkan adanya kondisi yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Hasil ini bukan hanya angka, tetapi sebuah peringatan bahwa ada anak-anak yang tengah berjuang dalam diam.

Ketika Anak Memilih Diam, Dampak Kekerasan dan Urgensi Perlindungan

Menurut beberapa ahli seperti Dr. David Finkelhor (2013), Dr. Judith Cohen (2006), dan tim peneliti WHO (2016), anak-anak sulit mengungkapkan kekerasan dikarenakan faktor psikologis dan relasional yang kompleks. Anak-anak sering merasa takut akan pembalasan dari pelaku, terutama jika pelaku adalah orang yang dekat dengan mereka seperti anggota keluarga. Dalam kasus kekerasan oleh orang tua, anak sering kali terjebak dalam trauma bonding, di mana mereka tetap diam karena bergantung secara emosional dan finansial. Sementara itu, kekerasan oleh teman sebaya, seperti bullying, sering kali tidak terlaporkan karena tekanan sosial dan normalisasi kekerasan dalam pergaulan. Hal ini sesuai dengan hasil screening GBV yang di lakukan MBKM UINSA, di mana banyak anak yang terindikasi mengalami kekerasan tetapi tidak langsung mengungkapkannya, menunjukkan betapa sulitnya anak-anak berbicara tentang pengalaman traumatis mereka.

Dr. Bruce Perry dan Dr. Martin Teicher (2003) dari Harvard menunjukkan bahwa kekerasan mengubah struktur dan fungsi otak yang berkembang, sementara Dr. Bessel van der Kolk (2014) dan laporan WHO (2016) menekankan peningkatan risiko gangguan kesehatan mental seperti PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), depresi, dan kecemasan. Penelitian Adverse Childhood Experiences (ACE) yang dipimpin Dr. Vincent Felitti dan pendapat Dr. Karestan Koenen (Felitti et al., 1998) membuktikan bahwa anak korban kekerasan cenderung terlibat perilaku berisiko tinggi dan mengalami kesulitan dalam hubungan sosial.

Urgensi mengatasi kekerasan pada anak tidak bisa diabaikan mengingat dampak komprehensif yang telah diidentifikasi para ahli. Dr. Bruce Perry dan Dr. Martin Teicher (Teicher et al., 2003) telah membuktikan kerusakan struktural pada otak anak, sementara Dr. Bessel van der Kolk (2014) menunjukkan gangguan kesehatan mental jangka panjang yang diakibatkan. Penelitian ACE oleh Dr. Vincent Felitti (1998) mengungkap bagaimana kekerasan menciptakan siklus negatif antar generasi, dan temuan Dr. Burke Harris (2018) menegaskan bahwa ini bukan sekadar masalah sosial tetapi krisis kesehatan masyarakat yang mendesak.

Berdasarkan hasil screening yang telah dilakukan, terlihat jelas bahwa masih banyak anak yang mengalami indikasi kekerasan, baik secara fisik maupun psikologis. Temuan ini menunjukkan bahwa diperlukan upaya serius dalam memberikan edukasi kepada orang tua mengenai pentingnya pola asuh yang baik dan bebas dari kekerasan. Pola asuh yang penuh kasih, empati, dan komunikasi yang sehat perlu ditekankan agar dapat menciptakan lingkungan yang aman bagi tumbuh kembang anak. Selain itu, keterlibatan tenaga profesional seperti konselor atau psikolog juga menjadi hal yang penting untuk membantu mengidentifikasi dan menangani dampak psikologis yang mungkin dialami anak. Pendekatan yang menyeluruh dan kolaboratif antara keluarga, sekolah, dan tenaga ahli sangat dibutuhkan untuk menciptakan sistem perlindungan anak yang efektif dan berkelanjutan.kita harus mendengar suara anak-anak, memahami tanda-tanda kekerasan, serta memberikan dukungan yang mereka butuhkan. Dengan menciptakan lingkungan yang aman dan peduli, kita bisa mencegah lebih banyak anak mengalami luka yang tak terucap.

“Saat anak-anak berbicara, tugas kita adalah mendengarkan dan bertindak. Karena setiap anak berhak tumbuh dalam lingkungan yang aman, penuh kasih sayang, dan bebas dari kekerasan.”

Bagi Anda yang menyaksikan atau menduga adanya kekerasan pada anak, jangan ragu untuk mengunjungi Klinik Utama PKBI JATIM. Klinik di Surabaya yang menyediakan layanan konseling psikolog profesional, Tes Kesehatan Mental, dan pendampingan psikologis. Hubungi kami melalui kontak yang tertera di bawah atau kirimkan penawaran Anda melalui email.

Hotline PKBI Daerah Jawa Timur
Nomor Whatsapp: +62 823-2360-2830
Email: pkbijatim@pkbi.or.id
Alamat: PKBI Daerah Jawa Timur, Jl. Indragiri No. 24, Surabaya

Kontributor Penulis: Nandika Putri Zurya Razyd (Mahasiswa Magang BKI UINSA)

Sumber Referensi:

WHO. (2016). INSPIRE: Seven strategies for ending violence against children. World Health Organization.
Burke Harris, N. (2018). The Deepest Well: Healing the Long-Term Effects of Childhood Adversity. Houghton Mifflin Harcourt.
Teicher, M. H., Samson, J. A., Polcari, A., & McGreenery, C. E. (2003). Sticks, stones, and hurtful words: Relative effects of various forms of childhood maltreatment. American Journal of Psychiatry.
Perry, B. D. (2002). Childhood Experience and the Expression of Genetic Potential: What Childhood Neglect Tells Us About Nature and Nurture. Brain and Mind, 3, 79–100.
Finkelhor, D., Turner, H., Shattuck, A., & Hamby, S. (2015). Prevalence of childhood exposure to violence, crime, and abuse. JAMA Pediatrics, 169(8), 746–754.
Burke Harris, N. (2018). The Deepest Well: Healing the Long-Term Effects of Childhood Adversity. Houghton Mifflin Harcourt.
Felitti, V. J., Anda, R. F., et al. (1998). Relationship of Childhood Abuse and Household Dysfunction to Many of the Leading Causes of Death in Adults. American Journal of Preventive Medicine.
Van der Kolk, B. A. (2014). The Body Keeps the Score: Brain, Mind, and Body in the Healing of Trauma. Viking.

    Write a comment